Sunday, 15 February 2015

Makalah Filsafat Pendidkan Islam

Filsafat Pendidikan Islam

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang masalah

Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat idependen.
Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” (sendirian) melainkan harus “solider” (bersama-sama), hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain.
 Belum lagi manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan  tanggung jawab yang sangat berat yaitu  “’Abd Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardh” (wakil Allah di muka bumi).
Mengingat di Indonesia mayoritas masyarakatnya muslim dan merupakan penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi terdapat karakter-karakter anak didik maupun masyarakat Indonesia yang tidak sesuai dengan pendidikan Islam. Pemerintah Indonesia pun kurang mengetahui dan memahami tentang pentingnya pendidikan Islam terhadap masyarakat indonesia. Maka kami akan mencoba untuk menela’ah sekaligus membahas tentang hakekat pendidikan Islam.




1.2  Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengidentifikasi hal-hal yang mnjadi permasalahan, diantaranya:
  1. Bagaimana gambaran tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
  2. Bagaimana proses penciptaan manusia dalam Al-Qur’an?
  3. Bagaimana kedudukan manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
  4. Apa tugas dan tanggung jawab manusia di bumi?
  5. Apa pengertian pendidikan Islam?
  6. Bagaimana langkah-langkah menanamkan pendidikan Islam?
  7. Bagaimana karakteristik pendidik dalam pendidikan Islam?
  8. Seperti apa kurikulum pendidikan Islam?
  9. Bagaimana karakteristik kurikulum pendidikan Islam?
  10. Apa yang di maksud dengan evaluasi?
  11. Apa tujuan dan fungsi evaluasi pendidikan Isla


1.3  Maksud dan Tujuan Penyusunan
Maksud  dari pnyusunan makalah ini adalah agar pnulis dan pembaca mendapatkan gambaran tentang pandangan filsafat pendidikan terhadap manusia, agar mampu mnyikapi dalam filsafat pendidikan Islam.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar penulis mampu mengaplikasikan yang dapat dipahami dalam makalah itu. Dan untuk yang membaca juga dapat memahami hal-hal yang kita penulis bahas dan jelaskan dalam makalah ini.


BAB II
PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP MANUSIA

2.1 Gambaran Tentang Manusia
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran  atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri. [1]
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah d muka bumi.[2]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:
a.      Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan. Firman Allah SWT.
Artinya : “katakanlah : Sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al Kahfi/18:110)[3]
Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan.
Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 : 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
b.      Konsep al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.
Dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatife dan merugikan.[4]
Kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang di milikinya mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya,dan sebagai makhluk yang dinami, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaaduan antara aspek pisik dan pisikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengemabngkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan lain sebagainya.
c.       Konsep an-Nas
Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[5]

d.      Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan, sebagaimana dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Al-Ankabuut:19)
Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.
Dan banyak ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan.
Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya”. Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God). Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah”, “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu”, bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman/gangguan diluar.
Adapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan Darwin.
2.2 Proses Penciptaannya Manusia Dalam Al-Qur’an
Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama, Adam AS , diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al-Anam/6:2, Al-Hijr/15:26,28,29, Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4).[6]
Penciptaan manusia selanjutnya adalah peruses biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam peruses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah) dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.
            Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam AS yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna.
Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsure ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian setriap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embiro sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia.[7]
2.3 Kedudukan Manusia
            Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).
1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak di berikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hokum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia dulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan mengusa seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk ucapan ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari, dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya dalah bukti bahwa manusia memiliki potensi untuk beragama, Allah berfirman:
Artinya: maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30)
            Berdasarkan ayat diatas, tentulah bahwa bagaimanapun moderennya atau primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya, selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.51:56)
            Bardasarkan Ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya.
2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
Bial ditijau, kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafa, yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinyalebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti pengusaan politik dan religius. Istilah inji digunakan nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia di alam ini, nampaknya istilah khala cocok digunakan dibanding kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi seorang khalifah manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudkan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab pun menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian:
1.      Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2.      Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
2.4  Manusia dan Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.[8]
Berangkat dari arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi.
Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah).[9] Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
2.5  Manusia Menurut Filsafat Pendidikan Islam
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).

BAB III   HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM
1.        Pengertian Pendidikan Islam
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang digunakan dalam proses pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam sebagai pedoman umat manusia khususnya umat Islam.
Pendidikan adalah segala upaya , latihan dan sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang berbudi luhur. 
Sedangkan pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam yang mencangkup semua aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia sebagai hamba Alloh sebagaimana Islam sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan peribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui peroses demi peroses kearah tujuah akhir perkembangan atau pertumbuhannya[10]
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin bertambah dan luas, maka pendidikan Islam bersifat terbuka dan akomodatif terhadap tuntutan zaman sesuai norma-norma Islam.
Dalam studi pendidikan, sebutan “ pendidikan Islam” pada umumnya dipahami sebagai suatu ciri khas, yaitu jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Dapat juga di ilustrasikanbahwa pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, dan anggung dalam moral”. Menurut cita-citanya pendidikan Islam meperoyeksi diri untuk memperoleh “insan kamil”, yaitu manusia yang sempurna dalam segala hal, sekalipun di yakini baru hanya Nabi Muhammad SAW yang telah mencapai kualitasnya[11]. Lapangan pendidikan Islam diidentik dengan ruang lingkup pendidikan islam yaitu bukan sekedar peroses pengajaran (face to face), tapi mencakup segala usaha penanaman (internalisasi) nilai-nilai Islam kedalam diri subyek didik[12].

2.        Langkah-Langkah Menanamkan Pendidikan Islam
Beberapa ahli agama Islam membagi pengetahuan menjadi tiga tingkatan yaitu pengetahuan tinggi, pengetahuan menengah, dan pengetahuan rendah. Pengetahuan tinggi ialah ilmu ketuhanan, menengah ialah pengetahuan mengenai dunia seperti kedokteran dan matematika, sedangkan pengetahuan rendah ialah pengetahuan praktis seperti bermacam-macam keterampilan kerja. Ini artinya bahwa pendidikan iman/agama harus diutamakan.
Menurut pandangan Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Pendidikan di sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat berbahaya bagi kehidupan bersama. Ia  dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman yang semakin penuh tantangan di masa mendatang.Oleh karena itu, mengingat pentingnya pendidikan Islam terutama bagi generasi muda, semua elemen bangsa, terutama guru pendidikan Islam, perlu membumikan kembali pendidikan Islam di sekolah-sekolah baik formal maupun informal.
Ada tiga hal yang harus secara serius dan konsisten  diajarkan kepada anak didik. Pertama, Pendidikan akidah/keimanan.Ini merupakan hal yang sangat penting untuk mencetak generasi muda masa depan yang tangguh dalam imtaq (iman dan taqwa)  dan terhindar dari aliran atau perbuatan yang menyesatkan kaum remaja seperti gerakan Islam radikal, penyalagunaan narkoba, tawuran dan pergaulan bebas (freesex) yang akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan.
Kedua, Pendidikan ibadah. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk  diajarkan kepada anak-anak kita untuk membangun generasi muda yang punya komitmen dan terbiasa melaksanakan ibadah. Seperti shalat, puasa, membaca al-Quran yang saat ini hanya dilakukan oleh minoritas generasi muda kita. Bahkan, tidak sedikit anak remaja yang sudah berani meninggalkan ibadah-ibadah wajibnya dengan sengaja. Di sini peran orang tua dalam memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya sangat diperlukan selain guru juga harus menanamkan secara mantab kepada anak-anak didiknya. Ketiga, Pendidikan akhlakul-karimah. Hal ini juga harus mendapat perhatian besar  dari para orang tua dan para pendidik baik lingkungan sekolah maupun di luar sekolah (keluarga). Dengan pendidikan akhlakul-karimah akan melahirkan generasi rabbani, atau generasi yang bertaqwa, cerdas dan berakhlak mulia.Penanaman pendidikan Islam bagi generasi muda bangsa tidak akan bisa berjalan secara optimal dan konsisten tanpa dibarengi keterlibatan serius dari semua pihak. Oleh karena itu,  semua elemen bangsa (pemerintah, tokoh agama, masyarakat, pendidik, orang tua dan sebagainya) harus memiliki niat dan keseriusan untuk melakukan ini. Harapannya, generasi masa depan bangsa ini adalah generasi yang berintelektual tinggi dan berakhlak mulia.

3.        Karakteristik Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dalam hal ini karakteristik pendidik muslim terbagi dalam beberapa bentuk, diantaranya yaitu:
a)         Bersifat ikhlas: melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari keridhoan Allah dan menegakkan kebenaran.
b)        Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah.
c)         Bersifat sabar dalam mengajar.
d)        Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e)         Mampu menggunakan metode mengajar yang bervariasi.
f)         Mampu mengelola kelas dan mengetahui psikis anak didik, tegas dan proposional.

4.        Kurikulum
Kurikulum berasala dari bahasa latin “Curriculum” dan terdapat pula dalam bahasa prancis “courir” artinya “to run” artinya berlari. Istilah ini digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harusc ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah. Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah.
Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata-kata “manhaj” yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didikanya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka.

5.        Karakteristik kurikulum Pendidikan Islam
Secara umum karakteritik kurikulum pendidikan Islam adalah pencerminan Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dalam seluruh aktivitas dan kegiatan kependidikan dalam prakteknya. Konsep inilah yang membedakan kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan pada umumnya.
Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam itu antara lain:
a)         Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan kandungan, kaedah, alat dan tekniknya.
b)        Memperluas perhatian dan kandungan hingga mencakup perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual.
c)         Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran.

6.        Evaluasi
Rangkaian akhir dari suatau proses kependidikan Islam adalah Evaluasi atau penialaian. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukannya evaluasi out put yang dihasilkannya. Maka secara sederhana Evaluasi pendidikan dapat diberikan batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam pendidikan Islam.
Dalam ruang lingkup yang terbatas, Evaluasi dilakukan adalah dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi kepada peserta didik, sedangkan dalam ruang lingkup yang luas, Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen ynag terlibat di dalamnya) dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan serta pelaksanaan dan berakhir pada kepribadian muslim.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam. Pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, dari segi peserta didik, evaluasi berguna untuk peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkahlaku secara sadar kea rah yang lebih baik. Ketiga, dari segi ahli fakir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk mengetahui kelemahan-kelemahan teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan teori itu kembali, pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman. Keempat, dari segi politik mengambilkebijakan pendidikan Islam (pemerintah) evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahisistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapakan.

7.        Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam secara rasional filosofis adalah bertujuan untuk membentuk al-insan al-kamil atau manusia paripurna. Pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu : pertama, dimensi dialektikal horizontal. kedua, dimensi ketundukan vertical.
Pada dimensi dialektikal horizontal pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkrityeng terkait dengan diri,sesame manusia, dan alam semesta. Sedangkan pada dimensi kedua, pendidikan sains dan teknologi selain menjadi alat untuk memanfaatkan juga hendaknya menjadi jembatan dalam mencapai thubungan yang abadi dengan sang khalik.
Secara umum tujuan dan fungsi evaluasi pendididkan Islam diarahkan kepada dua dimensi diatas. Secara khusus tujuan pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan Islam adalah untuk mengetahui kadar pemilikan dan pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, baik dalam aspek kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Sebagai tindak lanjut dari tujuan ini adalah untuk mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan lemah.
Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) disbanding aspek kognitif. Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yng secara garis besarnya meliputi empet hal, yaitu:
a)         Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhan.
b)        Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
c)         Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
d)        Sikap dan pandangan terhadap diri sendiri selaku hamba Allah,anggota masyarakat,khalifah Allah SWT.
Keempat kemampuan dasar tersebut dijabarkan dalam beberapa klasifikasi kemampuan teknis yaitu :
a)         Sejauhmana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah dengan indikasi-indikasi lahiriyah berupa tingkahlaku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
b)        Sejauhmana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya dan kegiatan hidup bermasyarakat seperti ahklak mulia dan disiplin.
c)         Bagaiman peserta didik mengolah dan memelihara serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya.
d)        Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam budaya, suku dan agama.

8.        Materi Pendidikan dalam Islam
Yaitu bahan – bahan atau pengalaman – pengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim tetapi logis) untuk disajikan atau disampaikan kepada anak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan ini seringkali disebut dengan istilah maddatut tarbiyah. Proses tarbiyah (pendidikan) mempunyai tujuan untuk melahirkan suatu generasi baru dengan segala ciri – cirinya yang unggul dan beradab. Penciptaan generasi ini dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan yang sepenuhnya dan seutuhnya kepada Allah SWT melalui proses tarbiyah.





BAB IV PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manusia menurut Islam adalah makhluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
Dan manusia memiliki potensi lain yaitu akal untuk mengetahui mana yang baik dan buruk karena akal manusia digunakan untuk berfikir atau mencari ilmu-ilmu Allah yang secara luas tersebar di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia wajib mencari pendidikan untuk kelangsuangan hidup di bumi dan di akhirat kelak.
Pendidikan Islam adalah proses pembentukan kepribadian manusia kepribadian Islam yang luhur. Bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk menjadikannya selaras dengan tujuan utama manusia menurut Islam, yakni beribadah kepada Allah SWT.
Diharapkan dengan pemahaman hakikat pendidikan Islam ini. Memberi motivasi agar manusia khususnya muslim selalu mencari ilmu hingga akhir hayat, dalam rangka merealisasikan tujuan yang telah disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 dapat diaplikasikan secara berkelanjutan

3.2 Saran
            Sebagi manusia hendaknya kita melakukan sesuai apa-apa yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang dilarang. Karena kita diciptakan sempurna dari pada makhluk Allah yang lain.
Setelah membahas hakikat pendidikan Islam ini. Maka kami berharap pendidikan Islam lebih di utamakan dan di pelajari lebih mendalam, dan menanamkannya pada generasi muda agar syari’at dan ajaran Islam dapat di mengerti dan di pahami oleh generasi muda serta dapat pula di aplikasikan dalam kehidupan sehari- hari.


DAFTAR PUSTAKA

Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia, Jakarta Pusat,  2009, hal. 48, 50, 57-59
Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 21
Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, CV. Diponogoro, Bandung, 1992, hal. 31
Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, PT Bumi Aksara, Jakarta, Cet. VI,  2000, hal. 57.
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,  hal. 29.
M. Arifin. 1993. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III. Jakarta: Bumi Aksara
Muslim Usa dan Aden Wijdan SZ. 1997. Pemikiran Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Aditya Media
Nasir Budiman. 2001. Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an, Cet.I,  Jakarta: Madani Press.


[1] Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
[2] Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
[3] Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia, Jakarta Pusat,  2009, hal. 48
[4] Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 21
[5] Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69
[6] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, CV. Diponogoro, Bandung, 1992, hal. 31
[7] Ali Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, Pustaka, Bandung, 1985, hal. 15-16
[8] Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, PT Bumi Aksara, Jakarta, Cet. VI,  2000, hal. 57.
[9] Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,  hal. 29.
[10] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III, Jakarta ; Bumi Aksara, 199), Hlm. 11
[11] Muslim Usa dan Aden Wijdan SZ., Pemikiran Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997.  Hlm., 35-36
[12] Nasir Budiman. Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an, Cet.I,  Jakarta: Madani Press, 2001.  Hlm. 1

No comments: